Keagungan bulan Ramadhan seringkali digambarkan dengan imajinasi yang
luar biasa. Saya begitu terpukau dengan imajinasi Nabi Muhammad
melukiskan keunggulan bulan Ramadhan dalam banyak hadis. Imajinasi Nabi
Muhammad terasa segar, kaya, dan hidup. Sebuah hadis mendeskripsikan
suasana sorga pada awal bulan Ramadhan, lengkap dengan detail alam
sorga, pakaian, makanan, tempat tidur, dan pasangan bermata jelita yang
disediakan bagi orang yang menjalankan ibadah puasa. Berikut hadis
dimaksud (saya kutip dari sebuah kitab klasik, Durrotunnashihin):
Pada awal Ramadhan, angin berembus dari bawah singgasana Tuhan, dan
daun-daun pepohonan sorga pun bergoyang, hingga terdengar desir semilir
teramat merdu. Tak pernah terdengar desir semilir semerdu itu.
Menyaksikan hari pertama Ramadhan itu, orang-orang bermata jelita (baca:
bidadari) berdoa, “Ya Allah, pada bulan Ramadhan ini jadikanlah salah
seorang di antara hambamu sebagai pasangan hidupku.”
Maka, Allah pun mengawinkan orang yang berpuasa dengan salah seorang
dari orang bermata jelita itu. Bagi setiap orang bermata jelita tersedia
70 perhiasan warna-warni dan dipan dari batu mulia warna merah
berhiaskan mutiara. Disiapkan pula 70 kasur dan 70 aneka makanan. Semua
itu khusus untuk orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan, tanpa
memperhitungkan amal kebaikannya yang lain.
Imajinasi kreatif Nabi Muhammad itu sangat indah. Adalah menarik bahwa
dalam banyak hadisnya, Nabi Muhammad menggambarkan keutamaan bulan
Ramadhan dengan fiksi dan imajinasi kreatif yang memukau. Dalam
imajinasi kreatifnya, Nabi Muhammad seringkali melibatkan alam dan
malaikat. Hal itu segera memperlihatkan pertalian antara manusia, alam,
malaikat, dan Tuhan sendiri. Maka keagungan bulan Ramadhan merupakan
pertalian spiritual dan kosmis keempat wujud tersebut. Kadangkala fiksi
dan imajinasi kreatif Nabi Muhammad lebih lengkap menyebut detail alam
dan lingkungan ketuhanan. Hal tersebut tentu menambah nuansa dan
memperkuat pesan yang ingin disampaikan, misalnya hadis berikut ini:
Pada bulan Ramadhan, aras dan singgasana Tuhan berteriak, sementara
malaikat berkata lirih, “Beruntunglah umat Muhammad SAW. Mereka
dianugerahi kemuliaan. Matahari, bulan, bintang, burung di udara, ikan
di air, dan semua makhluk ber-ruh di muka bumi –kecuali setan– berdoa
memohonkan ampun untuk mereka, siang malam.”
Lalu Allah berkata kepada malaikat, “Persembahkan shalat dan tasbihmu di
bulan Ramadhan pada umat Muhammad SAW.”
Dan, akhir Ramadhan adalah sesuatu yang sangat menyedihkan dalam
imajinasi Nabi Muhammad. Memang, selepas Ramadhan kita segera memasuki
hari raya Idul Fitri. Namun Nabi Muhammad tidak melulu menggambarkannya
sebagai hari kebahagiaan dan kemenangan, melainkan juga mengingatkan
akan musibah yang teramat berat. Dengan datangnya hari kebahagiaan dan
kemenangan itu berarti kita kehilangan sesuatu yang amat berharga.
Bahkan, kata Nabi, kehilangan sesuatu yang amat berharga itu merupakan
musibah. Inilah gambaran imajinatif Nabi Muhammad tentang akhir
Ramadhan:
Di malam terakhir bulan Ramadhan, langit, bumi, dan malaikat pada
menangis karena musibah yang menimpa umat Muhammad Saw.
“Musibah apa, ya Rasulallah?” tanya sahabat.
“Kepergian bulan Ramadhan.”
Gambaran imajinatif Nabi Muhammad tentang kepergian bulan Ramadhan
sebagai musibah itu menggambarkan dengan baik betapa berharganya bulan
Ramadhan. Bukan saja orang-orang saleh yang merasa kehilangan dengan
kepergian bulan Ramadhan, melainkan juga langit, bumi, dan malaikat.
Perasaan kehilangan langit, bumi, dan malaikat atas kepergian bulan
Ramadhan tampak sedemikian dalam, sehingga digambarkan bahwa langit,
bumi, dan malaikat bukan saja bersedih, melainkan semuanya pada
menangis.
Seluruh keutamaan bulan Ramadhan sebenarnya dipersembahkan kepada
manusia. Tetapi, secara imajinatif Nabi Muhammad menggambarkan bahwa
langit, bumi, dan malaikat pun turut berduka dengan kepergian bulan
Ramadhan. Itu berarti, langit, bumi, dan malaikat pun turut berbahagia
dengan datangnya bulan Ramadhan, meskipun seluruh keutamaannya tidak
untuk mereka, melainkan untuk manusia. Dengan imajinasi tersebut, pesan
hadis di atas jadi dalam: jika langit, bumi, dan malaikat saja turut
berbahagia dengan datangnya bulan Ramadhan dan turut berduka dengan
kepergiannya, alangkah malang manusia yang tidak berbahagia dengan
datangnya bulan Ramadhan dan tidak pula berduka dengan kepergiannya.
Bagi saya, imajinasi kreatif Nabi Muhammad tersebut sungguh luar biasa:
indah, hidup, memukau, dan pesannya jelas (dan hadis bagaimanapun
bersifat didaktis). Apalagi kalau kita membayangkan bahwa imajinasi
kreatif tersebut dikemukakan Nabi Muhammad sekitar abad ke-7 M.
Bagaimanakah imajinasi kreatif Nabi Muhammad bisa sampai pada deskripsi
menakjubkan seperti itu?
Sengaja di sini saya menekankan bahwa gambaran keagungan bulan Ramadhan
oleh Nabi Muhammad sebagai fiksi dan imajinasi. Bukan maksud saya
mengagungkan imajinasi lebih dari apa yang seharusnya. Sama sekali bukan
maksud saya juga menafikan pengalaman spiritual sebagaimana berkembang
terutama di dunia tasawuf, atau spekulasi intelektual seperti berkembang
dalam tasawuf falsafi. Di sini imajinasi ditempatkan sebagai
cara-pandang, perspektif, cara-memaknai sesuatu, sekaligus cara
menyampaikan pesan.
Imajinasi adalah anugerah Tuhan yang, saya rasa, diberikan hanya dan
hanya kepada manusia. Bersama rasio, imajinasi mendorong kehidupan dan
kebudayaan manusia berkembang mencapai kemajuan demi kemajuan. Imajinasi
membuka pintu kemungkinan yang paling jauh bahkan mustahil. Sementara,
rasio menyiapkan jalan agar apa yang semula diimajinasikan sebagai
mustahil kelak jadi mungkin dan nyata. Tidaklah aneh kalau Nabi Muhammad
memiliki imajinasi yang demikian tinggi dan begitu kreatif. Tidaklah
aneh juga kalau Nabi Muhammad berbicara dengan menggunakan imajinasi,
sebab dia berbicara kepada umat yang juga mendapatkan anugerah
imajinasi.
Dalam konteks ini, sebagai fiksi dan imajinasi kreatif, hadis-hadis
tersebut di atas memiliki logika imajinasinya sendiri. Yang terpenting
di antaranya adalah tidak berartinya kesesuaian apa yang dikemukakan
dengan fakta yang dikemukakan.
Maka tidaklah terlalu penting apakah langit, bumi, dan malaikat
benar-benar menangis di malam terakhir bulan Ramadhan. Yang penting
adalah, apakah fiksi atau imajinasi bahwa langit, bumi, dan malaikat
menangis di akhir bulan Ramadhan bermakna bagi kita. Begitu juga
tidaklah penting apakah singgasana Tuhan benar-benar berteriak dan
malaikat berkata bahwa umat Nabi Muhammad beruntung dengan datangnya
bulan Ramadhan. Yang penting adalah, apakah keindahan kisah tersebut
bermakna dan menggugah perasaan kita.
Demikian juga hadis tentang angin yang berhembus dari bawah singgasana
Tuhan dan berdesir di sela daunan pohon sorga pada bulan Ramadhan:
sejauhmana keindahan kisah itu menggetarkan hati kita; sejauhamana pula
kita merasakan pesan spiritual melalui metafor-metafornya yang
fantastis?
Kita wajib mengembangkan kekuatan imajinasi sebagai anugerah Tuhan.
Dengan imajinasi yang tajam dan peka, kita akan memiliki peluang lain
dalam menghayati Islam, sebab dalam banyak hal Islam diuraikan dengan
imajinasi seperti antara lain tampak dari hadis-hadis di atas. Bahkan
Tuhan pun berfirman dalam bahasa imajinasi. Dan Dia pasti tahu:
berbicara dengan bahasa imajinasi hanya mungkin dilakukan kepada
makhluknya yang telah dianugerahi imajinasi, yaitu manusia.
Saya membayangkan, setiap akhir Ramadhan Nabi Muhammad menangis duka
bersama langit, bumi, dan malaikat. Juga bersama orang-orang bermata
jelita di sorga. Mudah-mudahan kita berada di tengah-tengah mereka
semua, bersama-sama melinangkan airmata duka. Jika tidak, saya rasa Nabi
Muhammad menangis bukan karena kepergian bulan Ramadhan, tapi berduka
karena kita tidak berduka..
zhotmandiri.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar